Anak adalah
makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk
dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala
kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf
kemanusiaan yang normal.
Menurut John Locke (dalam Gunarsa,
1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap
rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.
Augustinus (dalam Suryabrata, 1987), yang
dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan
bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan
untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah
belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat
memaksa.
Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang
mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan
segala keterbatasan.
Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat
bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan
tempat bagi perkembangannya.
Kasiram (1994), mengatakan anak adalah makhluk
yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak
sendiri, yang kesemuannya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta
struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan
pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai
perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas
psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase
perkembangan pada masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase
merupakan dasar bagi fase selanjutnya.
SALAH KAPRAH ORANG TUA
Seringkali
orang tua baru bertindak ketika kesalahan telah dilakukan oleh anak. Bukan
mencegah, mengarahkan, dan membimbing sebelum kesalahan terjadi. Seharusnya
orang tua mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan anak, sebelum membuat
aturan. Jangan menyamakan anak dengan orang dewasa. Orang tua hendaknya
menyadari bahwa dunia anak jauh berbeda dengan orang dewasa. Jadi, ketika
menetapkan apakah perilaku anak dinilai salah atau benar, patuh atau melanggar,
jangan pernah menggunakan tolok ukur orang dewasa. Harus diakui, orang tua yang
habis kesabarannya sering membentak dengan kata-kata yang keras bila anak-anak
menumpahkan susu di lantai, terlambat mandi, mengotori dinding dengan kaki,
atau membanting pintu. Sikap orang tua tersebut seperti polisi menghadapi
penjahat. Sebaliknya, orang tua sering lupa untuk memberikan perhatian positif
ketika anak mandi tepat waktu, menghabiskan susu dan makanannya, serta
memberesi mainannya. Padahal seharusnya, antara perhatian positif dengan perhatian
negatif harus seimbang.
PENGARUH TERHADAP ANAK
PENGARUH TERHADAP ANAK
Anak-anak yang
sering diberi perhatian negatif, apalagi dengan teguran keras atau bentakan,
akan mudah tertekan jiwanya. Kemungkinan ia bisa berkembang menjadi anak yang:
- Minder
Bila anak
selalu dicela dan dibentak, dan tak pernah menerima perhatian positif saat ia
melakukan kebaikan, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri
atau minder. Akan tertanam dalam jiwanya bahwa ia hanyalah anak yang selalu
melakukan kesalahan, tidak pernah bisa berbuat kebaikan atau menyenangkan orang
lain. Akibatnya, ia sering ragu-ragu atau tidak percaya diri untuk melakukan
atau mencoba sesuatu karena takut salah. Misalnya, ia jadi tidak pede untuk
mengaji atau membaca Al-Quran, gara-gara orang tuanya selalu membentaknya bila
mendengar bacaannya salah.
- Cuek/ tidak peduli
Anak yang
selalu dibentak juga bisa berkembang menjadi anak yang cuek dan tidak peduli.
Akibat sudah terlalu sering menerima bentakan, ia malah jadi apatis, tidak
peduli. Ia pun sering mengabaikan nasihat orang tuanya. Mungkin saat dibentak
atau dimarahi ia terlihat diam mendengarkan, tapi sesungguhnya kata-kata orang
tuanya hanya dia anggap angin lalu. Masuk ke telinga kanan lalu keluar lewat
telinga kiri.
- Tertutup
Orang tua yang
temperamental dan suka membentak, tentu akan menakutkan bagi anak. Ya, anak
menjadi takut pada orang tuanya sendiri, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi
yang tertutup. Ia tak pernah mau berbagi cerita dengan orang tuanya. Buat apa
berbagi kalau nanti ujung-ujungnya ia akan disalahkan? Dengan demikian,
komunikasi antara orang tua dan anak tidak bisa berjalan lancar. Hal ini tentu
berbahaya, karena bila menghadapi masalah dan hanya disimpan sendiri, jiwa anak
bisa sangat tertekan.
- Pemberontak/ penentang
Anak yang
bersikap menentang bisa digolongkan dalam 3 tipe:
Ø
Pertama, tipe penentang aktif.
Mereka menjadi anak yang keras kepala, suka membantah dan membangkang apa saja
kehendak orang tua. Mereka marah karena merasa tidak dihargai oleh orang tua.
Untuk melawan jelas tak bisa, karena ia hanya seorang anak kecil. Maka ia pun
berusaha menyakiti hati orang tuanya. Ia akan senang bila melihat orang tuanya
jengkel dan marah karena ulahnya. Semakin bertambah emosi orang tua, semakin
senanglah ia.
Ø
Kedua, tipe penentang dengan cara
halus. Anak-anak ini jika diperintah memilih sikap diam, tapi tidak juga
memenuhi perintah. Sebagaimana Abid yang disuruh mandi oleh ibunya, tapi tak
juga mau beranjak dari tempatnya bermain. Saat ia ditinggalkan sendiri di kamar
mandi pun, ia tidak segera mandi, malah bermain air atau kapal-kapalan.
Ø
Ketiga, tipe selalu terlambat.
Anak seperti ini baru mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu
melihat orang tuanya jengkel, marah, dan mengomel atau membentak-bentak karena
kemalasannya.. Misalnya Angga yang belum mau beranjak dari tempat tidurnya bila
belum dibentak atau diomeli ibunya.
- Pemarah, temperamental dan suka membentak
Anak sering
meniru sikap orang tuanya. Bila orang tua suka marah atau 'main bentak' karena
sebab-sebab sepele, maka anak pun bisa berbuat hal yang sama. Jangan heran bila
anak yang diperlakukan demikian, akan berlaku seperti itu terhadap adiknya atau
teman-temannya
BAGAIMANA
MENUMBUHKAN KEPATUHAN?
Setelah jelas
bila bentakan tidak efektif untuk menumbuhkan kepatuhan, bahkan berpengaruh
negatif bagi kepribadian anak, lalu bagaimanakah cara yang baik untuk
menumbuhkan kepatuhan?
- Beri penjelasan pada anak
Jelaskan pada
anak dengan bahasa yang ia mengerti, mengapa suatu hal diperintahkan dan hal
lain dilarang. Jangan sekali-sekali memberi keterangan dusta dalam hal ini.
- Perintahkan sebatas kemampuannya
Perintah di
luar kesanggupan dan kemampuan anak justru bisa menyebabkan krisis syaraf
(neurotic) dan buruk perangai. Ada pepatah mengatakan, "Jika engkau ingin
ditaati, maka perintahkanlah apa yang dapat dipenuhi." Sebaiknya perintah
itu dibagi-bagi dan tuntutan pelaksanaannya pun bertahap. Untuk mengetahui
sampai di mana batas kemampuan anak sesuai perkembangan usianya, diperlukan
pengetahuan tersendiri. Sebaiknya orang tua memahami perkembangan anak ini.
- Tidak berdusta atau menakut-nakuti
Kadang orang
tua mengatakan akan membelikan ini atau itu jika anak mematuhi perintahnya,
tapi ternyata setelah anak patuh, orang tua tidak menepati janjinya. Itu
berarti orang tua berdusta, dan bisa jadi anak tidak akan percaya lagi pada
orang tuanya. Kedustaan seperti ini harus dihindari. Selain itu, orang tua juga
sering menakut-nakuti anak dengan sesuatu yang seharusnya berguna baginya. Itu
dilakukan karena ingin anaknya segera memenuhi perintah mereka. Misalnya
menakut-nakuti anak dengan dokter, suntikan dan sebagainya. Ketakutan anak pada
hal-hal tersebut bisa terbawa hingga ia dewasa.
- Jangan bertentangan dengan naluri anak
Gharizah atau
naluri adalah kekuatan terpendam dalam diri manusia yang mendorongnya untuk
melakukan beberapa pekerjaan tanpa berlatih terlebih dahulu. Janganlah orang
tua melarang anak bermain, atau membongkar dan memasang sesuatu. Jangan pula
melanggar kebiasaan anak kalau tidak ingin mereka menggunakan jerit tangis
sebagai senjatanya. Lebih baik gharizah itu diarahkan sedemikian rupa sehingga
anak bisa mengatur dirinya sendiri. Misalkan diberi perintah, "TPA nanti
mulai ba'da asar lho, sekarang kan udah setengah tiga. Adik udah aja ya mainnya,
dilanjutin besok aja, sekarang mandi dulu, kan udah mau adzan…". Ungkapan
itu tidak melarang anak bermain, dan tidak melanggar kebiasaan mereka bermain
di tengah hari. Pemberian 'masa terbatas' ini dimaksudkan agar anak bisa
mengatur jadwal kegiatannya sendiri, dan akan sangat menolong untuk melatih
anak disiplin waktu. Selain itu mereka merasa dianggap mampu untuk mengatur
dirinya sendiri tanpa harus didikte begini dan begitu.
Rujukan :
Suryabrata,
Sumadi, 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta:ANDI.